Sabtu, 14 Februari 2009

Kenapa Harus Malu

aku berasal dari keluarga yang pas-pasan, aku tidak mempunyai kemampuan yang lebih ketimbang anak-anak seumuran aku,

aku baru berumur sekitar 17 tahun saat itu, namun harus menerima perlakuan pahit korban ke egoisan orang dewasa......!!!

saat itu aku telah lama mendambakan menjadi atlit nasional, dengan tekun berlatih dan tetap berdoa kepada yang maha kuasa kalau suatu saat nanti aku mampu meraih cita-citaku.....

oppppsss aku lupa sebenarnya cita-citaku bukan menjadi seorang atlit.... tapi cita-citaku adalah menjauh dari keluarga, dan sekembalinya nanti orang tuaku tidak perlu lagi naik gunung buat cari uang....

ya...! aku berasal dari keluarga petani yang hidup dari sehat atau tidaknya sebuah tanaman, karena di kebun kami lebih banyak hama (Tupai) ketimbang tanamannya, sehingga kami berlomba siapa lebih dulu mendapatkan rezeki... kadang saat buah kelapa mulai tua ayahku memanjatnya, tapi saat diatas kekecewaan yang didapatnya, kelapanya sudah pada bolong...

??? eh kok jadi bagian curhatan...

baiklah, tahun 2005 saat itu saat dimana kejuaraan POPWIL wilayah I aceh menjadi tuan rumah, aku mendapatkan kesempatan melaju ke tingkat selanjutnya, POPNAS.... sebuah ajang terbesar bagi pelajar untuk meoreh prestasi mereka dalam olah raga...

hari berlalu dan bulan pun berganti, tak kusadari persiapan pertandingan pun dimulai, aku juga tidak persis ingat bulan apa saat itu, dimana saya sendiri pergi ke tampat pelatih saya, dan bertanya

aku : " pak.... apa surat pemanggilan atlit buat saya sudah sampai...?"
Pelatih : " o0 blum fit... "

dengan penuh kekecewaan saya pulang dengan tangan hampa, yang membuat saya kecewa ialah menurut informasi abang saya kegiatan latihan tersebut sudah dilaksanakan 2 minggu yang lalu, minggu depannya....

Aku : "pak gimana sudah sampai belum...?"
Pelatih : belum fit

aku : tapi abang saya bilang latihannya sudah dimulai 2 minggu yang lalu,
pelatih : mungkin suratnya nyangkut di KONI...

karena aku masih terlalu lugu saat itu aku percaya aja kata-katanya,

bulan pun berganti, pertandingan di gelar, tapi aku tidak bisa melihat secara langsung, karena tiket untuk keberangkatan ku tidak pernah ada ditangan ku, so kok bisa tau...?

sebagai warga negara yang baik saya selalu mengikuti informasinya melalui media, dengan berat hati semua tim nad saat itu tidak berhasil secara memuaskan, "kalau pun aku tidak sehebat mereka yang bertanding namun insya allah aku rela patah kaki demi nama daerah ku...

namun yang membuat aku sedih bukanlah aku kehilangan kesempatan menjadi "The Best" tapi keinginanku saat itu adalah uang hasil pertandingan tersebut akan aku gunakan untuk modal jualan ibuku, maklum dengan keadaan aceh saat itu masih di redam Konflik, aparat keamanan me***************************** "maaf kata-katanya harus di sensor"

sehingga ibuku harus berjuang sendirian menghidupi aku dan adikku, aku juga tidak bisa berhenti sekolah, orang tua ku mengatakan "Apapun yang terjadi kalian harus tetap sekolah, jangan pernah pulang.... katakan pada adikmu ibu baik-baik saja"

bagaimana yang dikatakan baik (dalam hatiku memberontak) ibu bahkan tidak memasak untuk menghemat biaya hidup, tapi ibu selalu mengatakan ibu ngak masak sibuk banyak pembeli datang, tapi ketika melihat lantai yang di pell tadi pagi tidak ada setapak sepatu pun yang membekas, tidak ada satu minuman pun yang di sentuh pembeli.

ya pada saat itu tidak semua orang berani tinggal di desanya, hanya anak-anak dan wanita yang masih tinggal di desa, para pria harus memilih pergi dari kampung, atau pergi tak akan pernah kembali...

aku juga bingung saat itu sehingga, antara menjadi pelajar atau membantu orang tua, maka tak bisa dipungkiri lagi, setiap hari libur aku kabur dari pesantren tempat ku menuntut ilmu untuk pulang membantu orang tua.

Tidak ada komentar: